Label

Sabtu, 12 Mei 2012

MAAF



MAAF

     “Jika masih bisa meminta, aku ingin malam ini tak hujan, Sayang. Atau setidaknya tak ada petir mengiringi ….” Ucapku dari kejauhan. Dan kau hanya diam.

                Malam belum terlalu larut, tapi suasana di luar membuat semuanya tampak kalut. Aku tahu, hujan tak jua berhenti sejak sore tadi. Dan aku pun tahu, aku tak bisa berbohong bahwa aku mengkhawatirkanmu. 

                Ya, sebegitu khawatirnya aku, tak bisa kualihkan pandanganku darimu. Dari sini kulihat kau berbaring di ranjang. Ranjang  yang tak nyaman tapi akhirnya menjadi nyaman untuk kita; aku, kamu dan Alin, gadis manis yang ada dalam dekapmu. Kalian pasti kedinginan, batinku. Sebuah kain jarit usang melindungimu dan juga Alin dari dingin yang jelas teramat menyiksa. Malam benar-benar sunyi, kecuali gemuruh petir serta pertarungan antara angin dan jarum-jarum air. Dan matamu yang belum terpejam sesekali menerawang ke arah jendela, mengawasi berkas kilat yang menari di atasnya. 

***

                    “Sayang, aku takut,”

                    “Kemarilah, peluk lebih erat.” Jawabku.

              Dan kau pun akhirnya lebih mendekat, di atas ranjang kayu tempat kita beristirah. Matamu yang biasanya berlian kini kau tundukkan dan kau benamkan di dadaku. Sementara Alin, ah … anak kita masih terlalu kecil. Semoga ia tidak terbangun karena suara-suara petir di luar sana.

                   “Maafkan aku, Rani,” bisikku.

                 Ada rasa bersalah yang luar biasa di dadaku. Aku tak bermaksud membuatmu setakut ini. Aku tahu, sejak lama kau phobia pada petir. Maaf bila saat ini, saat hujan seperti ini, aku hanya bisa melindungimu seadanya. Semua ini adalah pilihan. Dan membawamu serta anak kita ke rumah kontrakan sempit di pinggiran ibu kota ini kurasa adalah pilihan yang terbaik.

                 Rani, perlu kau tahu … kuyakin kau sudah sangat tahu, aku begitu mencintaimu. Aku tak pernah menyesal bertemu dan mengenalmu. Mencintaimu adalah terhebat meski ternyata jalan tak seindah yang kita bayangkan. Menikahimu pun adalah sesuatu, walaupun begitu sulit meyakinkan ayah ibuku karena kita berbeda kasta.

Maaf jika selama empat tahun kita tinggal di rumah orang tuaku, kau begitu tersiksa. Kau memang tulus, Rani. Pun tak pendendam. Namun sebagai yang menyayangimu, aku tak rela kau diperlakukan tak baik sehari-hari. Juga Alin, yang jelas-jelas cucu mereka. Maka, kupilih membawa kalian lari ke sini. Apapun, walau harus dicoret dari daftar keluarga. Mungkin ini seperti sinetron, tapi inilah kenyataannya ….

***

Kilat yang disusul geliat petir kembali membahana, kali ini lebih hebat dari petir yang sudah-sudah. 

“Tutup matamu, Rani … tutup matamu!”

“Tenang, Pram … aku sudah tak takut lagi pada petir,”

“Benarkah?” Tanyaku. Lagi-lagi kau tak menjawab. Semoga saja benar.

Kau dekap penuh tubuh mungil Alin. Kau belai mesra rambut ikalnya yang seperti rambutku. Sepertinya ada rapalan doa yang kau bisikkan tepat di atas keningnya. Rani, aku ingin melakukannya pula, hasratku. Ingin sekali.

“Bunda, Alin lindu sama Ayah.” Ucap Alin padamu, meski lafalnya tak sempurna.

“Iya. Bunda juga kangen Ayah. Kita berdoa ya supaya Ayah tenang di surga.” 

Matamu berkaca.

Sungguh, Rani … tindakanku memang bodoh dan dosa besar di mata Tuhan. Namun jujur, ini kulakukan sepenuhnya agar kau dan Alin benar-benar lepas dari tekanan orang tuaku. Maaf bila akhirnya seperti ini. Aku mencintaimu, Rani. Maaf ....



===========================================================================

*Sedang diikutkan dalam Lomba FF Minggu ke-6 Pustaka Inspirasiku. http://pustakainspirasiku.blogspot.com/2012/04/lomba-ff-mingguan-pustaka-inspirasi-ku.html


Rabu, 02 Mei 2012

Pesan kesekian

Tuhan,
titip adikku yg kusayang
Cubit aja pipinya kalo dia nakal

Tapi jangan biarkan air mata jatuh di pipinya yg manis itu

Karena sebagian semangatku ada di dirinya


02/05/12 10:16 AM