Label

Jumat, 17 Februari 2012

Sebuah Pertemuan


                
                Hari itu aku bertemu dengannya. Jujur, sebenarnya kami sudah sering berjumpa. Tapi entah mengapa pertemuan kala itu begitu mengesankan, berbeda dari biasanya.

                Sebelumnya aku ingin bercerita terlebih dahulu tentang kejadian-kejadian sebelum pertemuan kami. Minggu itu adalah minggu terburuk selama hidupku. Maaf, bukan terburuk, melainkan satu minggu yang teramat menyedihkan.

                Berawal dengan musibah yang menimpa Ayahku. Ia mengalami kecelakaan, paha kirinya patah. Seumur hidupnya baru pertama kali ia mengalami musibah separah itu. Mau tak mau ia harus dioperasi dan membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit. Aku dan Ibuku bingung! Tabungan yang Ayahku miliki telah habis dipakai untuk biaya kuliah dan wisudanya beberapa bulan yang lalu. Sedangkan pihak yang menabrak sepertinya angkat tangan. Aku tak bisa diam. Uang tabunganku kuserahkan semuanya untuk pengobatan Ayahku. Uang itu telah lama aku kumpulkan dari sisa gajiku selama bekerja. Tapi ah, aku tak memikirkannya lagi. Bagiku, Ayahku harus sembuh. Ya, walaupun setelah itu aku harus lebih hemat dan mulai menabung lagi dari nol.

                Tidak cukup sampai di situ. Pertunanganku yang rencananya akan dilangsungkan dalam waktu dekat pun terpaksa dibatalkan. Lebih tepatnya diundur, melihat keadaan Ayahku yang masih sakit dan butuh perawatan. Sedih. Kalian tahu? Aku menunggunya sudah hampir empat tahun. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak mampu memaksakan. Tidak ada satupun manusia yang bisa menerka datangnya musibah atau hal lain dalam hidup.

                Berangkat dari kejadian-kejadian itu lah aku bertemu dengannya. Lucu memang. Kami bertemu di saat aku sedang terpuruk. Di tengah malam aku mendengar ia memanggiku. Aku bangkit dan menemuinya. Di kamar kost-ku yang sempit aku memeluknya dengan perasaan yang terhimpit. Ia mendekapku dengan kasih sayangnya yang tak terhingga. Ia dengar keluhku. Keluhan dari bibirku yang sering menyia-nyiakan pertemuan kami sebelumnya. Tapi ia tak mempermasalahkan itu. Ia biarkan aku menangis sejadi-jadinya, mengungkapkan segalanya. Lagi-lagi ia tak keberatan. Ia melindungiku, menemaniku dalam sujud-sujudku malam itu. Ya, Dia lah Tuhan.

Rabu, 15 Februari 2012

Secangkir Kopi dan Bayangmu


Secangkir Kopi dan Bayangmu

            Kubawa cangkir ini dari dapur menuju meja kecil di teras samping rumah. Isinya yang hangat kuaduk dengan sendok kecil. Asapnya mengepul, menipis dan terbang terbawa angin senja yang begitu dingin. Sisa-sisa gerimis masih menggenang. Pucuk-pucuk beugenvile pun masih terlihat basah.
            Tiba-tiba tubuhku gemetar setelah sekian kali kuhirup aroma khas dari cairan hitam di cangkir ini. Perutku seperti diguncang hebat. Ada tekanan dahsyat mengalir dari dasar lambung, naik cepat ke pangkal tenggorokan tanpa bisa kutahan. Keringat berjatuhan. Kucoba menutup mulut dengan telapak tanganku, namun …
***
            Aku masih duduk di sudut ruangan. Sesekali kulempar pandangan ke luar. Jalanan mulai lengang, hanya satu dua kendaraan yang melintas. Di dalam sini pun sama. Musik telah sepi. Sepertinya hanya tinggal aku sendiri. Tadi ada dua pria yang datang bersamaan denganku. Namun barusan kulihat mereka meninggalkan lembaran uang di meja dan berlalu.
            “Hey, sudah jam berapa ini?” tanyamu mengagetkanku.
 Kursi di hadapanku kau tarik kemudian kau duduki. Kau masih mengenakan seragammu. Meskipun lelah, kau masih saja tampan.
“Kok murung?” tanyamu lagi.
“Nggak ….”
“Lalu?” Aku diam.
“Cantikmu akan pudar kalau sedih terus. Sudah lah, yang sudah biarlah berlalu. Tak usah pikirkan mantan tunanganmu. Kamu pasti akan dapat yang lebih baik.” Bisikmu lirih.
Kita terdiam sesaat.
“Terima kasih ya, Rend.” Ucapku.
“Untuk?”
“Menemaniku selama ini.”
Membiarkan aku menemuimu di tempat kerjamu, bahkan hingga larut seperti ini. Mengganggumu dengan keluh kesahku. Mengusap air mataku yang kadang tak sengaja menetes. Membuatku tertawa dan melupakan luka yang pernah ada.
Kau mengangguk. Senyummu begitu menyejukkan, sesejuk angin malam yang menyelinap lewat jendela-jendela yang masih terbuka.
Tiba-tiba kamu beranjak ke belakang, kemudian kembali bersama sebuah nampan.
“Minumlah! Dari tadi sepertinya kamu belum pesan apa-apa.” Ucapmu sembari menurunkan secangkir minuman.
“Kopi?” Aku tersentak melihat isinya.
“Selama ini kamu tak pernah mau kutawari kopi. Cobalah, biar aku yang bayar.”
“Tapi kan aku nggak suka, Rend …” rengekku. Kamu duduk kembali di hadapanku.
“Kamu harus terbiasa dengan kopi.”
“Kenapa?” Aku mengernyitkan dahi.
“Supaya kamu terbiasa. Aku berharap suatu saat kamu mau menghidangkan minuman kesukaanku ini tiap pagi.” Aku masih bungkam, menerka-nerka maksud ucapanmu.
            Tiba-tiba jemarimu jatuh di atas telapak tanganku yang kuletakkan di atas meja …
            “Mungkin aku bukan orang yang baik, tapi aku ingin mencoba jadi yang terbaik untukmu.”
            Ada yang diam-diam berdesir lembut di hatiku, entah apa.
            “Maaf bila terlalu cepat. Tapi aku sayang kamu, Ri.” Lanjutmu.
            Pipiku bersemu. Oh Tuhan, inikah cinta?
            “Rend, boleh kucoba kopinya?” Ucapku menutupi. Kau membuatku kehilangan kata.
Biarlah kucoba kopi ini, biar pula kucoba menerimamu di hati.
***
            “Hoooeeek!”
            “Ria, sudahlah. Janganlah memaksakan diri. Ibu tak tega melihatmu seperti ini, Nak.”
 Ibu membimbingku masuk, meninggalkan secangkir kopi yang dipenuhi bayangmu. Maaf.
***
Aku meninggalkan ruangan dokter dengan buru-buru. Aku ingin segera menemuimu, mengabarkan sesuatu yang sangat kita tunggu. Ternyata mual-mualku ini karena aku mengandung anakmu, Rend. Anak kita!
Namun belum sampai beberapa langkah sebuah pesan masuk ke Hp-ku.
Ria, Lova Café kebakaran. Suamimu tak bisa diselamatkan. Sabar ya, Ri.
Pandanganku kabur, dunia serasa gelap. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi.

END