Label

Selasa, 17 April 2012

KISAHKU TENTANGNYA


KISAHKU TENTANGNYA

Pukul 03.15 WIB

       Aku masih menemani Anisa seperti biasa. Wajah wanita 50 tahunan itu masih tampak ayu meski gurat-gurat usia mulai tergambar di sana. Kali ini entah mengapa, ia tak seperti hari-hari sebelumnya. Memang aku sering melihatnya sendu, tapi tak sesendu pagi ini.

Usai sujud-sujudnya yang ditutup tiga rakaat witir, aku melihatnya menitikkan satu dua tetes air mata. Bahunya berguncang. Rapalan doa ia panjatkan pada Tuhan yang selalu menemaninya dalam sunyi seperti ini. Aku terdiam. Aku begitu hapal dengan apa yang ia uraikan. Tentang hidupnya, almarhum suaminya dan putra semata wayangnya. 

Di tepi ranjang kamarnya, di gubugnya yang sama tua dengan umurnya, Anisa mengeluh pada Tuhan. Pun masih di atas sajadah usang yang belum ia lipat. Aku medengarnya. Sungguh, ia rindu pada Adi. Entah berapa lama ia tak melihat wajahnya, memeluk dan mengusap hangat pundaknya seperti yang dulu dilakukannya. Ia rindu pada kecupan hangat di tangannya setiap kali anak itu akan pergi. Ia juga rindu membuatkan mendoan kesukaannya.

Ya, serindu apapun itu, Anisa hanya bisa mengenang dan mengingat pesannya pada Adi, enam tahun silam …

“Nak, jaga kesehatan, ingat sembahyang. Maaf ibu tak bisa membakalimu banyak. Ibu mung nduwe iki,”

Anisa memberikan beberapa lembar uang yang ia pinjam dari Bu Gio, majikan tempat ia bekerja mencuci pakaian. Betapa berat ia ada di stasiun itu. Tapi ia harus rela melepas anaknya ke Jakarta demi beasiswa sekolah di perguruan tinggi.

***

Pukul 03.35 WIB

Lagi-lagi aku masih menemani Anisa menyempurnakan tahajudnya. Aku miris melihatnya kesulitan bangkit dari sujud karena encok di pinggangnya. Ah, wanita ini tak pernah menyerah.

“Ya, Allah ….” Suaranya mengeras. Ada apa? Ada beban berat kah di matanya hingga ia menangis sehebat itu? Teringat suaminya? Sepertinya tidak, ia sudah terbiasa. Atau saking rindunya pada Adi? Sepertinya ia masih menyimpan rindu itu.

Ada luka yang menggores hatinya, Anisa ceritakan lagi pada Tuhannya dan aku kembali mendengarnya.

“Gue nggak bisa pulang, hari ini hari pertama gue kerja. Emak kan udah biasa sendiri. Ntar kalo udah gajian pasti gue kirimi!” Dan percakapanpun terputus. 

Seminggu yang lalu Anisa keluar dari wartel dengan perasaan tercabik. Sakit? Bukan. Lebih tepatnya kecewa. Seperti itukah Adi sekarang? Anak yang selalu ia banggakan dan ia rindukan. 

“Ya, Allah … bimbing ia di jalanmu. Bukakan mata buah hatiku.” Aku turut mengamini pintanya pagi ini.

Setelah usai, Anisa pun bergegas ke dapur. Selepas subuh ia berbenah untuk ke rumah tetangga, mencuci pakaian seperti biasa.

***

Pukul 05.15 WIB

Aku tak bisa berkata-kata. Semuanya hening, hanya isak yang tak jua berhenti dari sini. Entah ada apa. Subuh tadi, seorang pemuda datang dan serta merta memeluk Anisa.

“Adi kena tipu, Mak. Maafkan Adi,” begitu ucap pemuda itu. 

Hingga kini ia masih bersimpuh di hadapan Anisa. Anisa hanya diam. Ada sesuatu yang bergetar dalam hatinya. Tangis pemuda itu mambasahi kakinya dan membasahiku, mukena usang yang selalu menemani Anisa.

END

*Sedang diikutkan dalam event FF Selasa, 17 April 2012 Grup Es Campur

Minggu, 15 April 2012

TENTANG RINDU



Tentang Rindu
Sepenggal perbincangan di ujung, antara Ashar dan Maghrib


“Rindu?” begitu tanyamu

Aku diam
beberapa jawab diam-diam kusulam
dari desir angin dan benang-benang kenang
yang pernah kita pilin dari serpihan kisah usang
aku,
dirimu …

“Rindu?” begitu lagi tanyamu

Aku masih bungkam
sungguh sulit mengiyakan kata hati
pun sesulit niat mengingkari
sebab bentangan jarak
benar-benar buat kukembali
pada titik di mana hasrat lebih dari pikat
dan sepercik cinta lebih dari mantra

“Kau tahu? Rindu itu laksana teja di mega. Seperti itu …”
kutunjuk pada gugusan jingga yang melayang di atas kita
dan kau mengikuti

Ya, rindu itu sementara seperti ini
indah meski hanya sesaat kemudian lenyap
ranum sejingga warna penuh harap

“Aku pun sama-sama merindumu,” jawabku

Namun tak ada yang dengar
bayangmu telah dulu hilang
sesaat sebelum kukatakan padamu
 jujur, aku pun rindu












Cilacap, 14 April 2012


BUKU KE-5

VALENTINE BERSAMA KINGKONG

              ....

           Istirahat pertama di SMA-ku terasa heboh. Walau banyak selebaran dari rohis tentang larangan merayakan Valentine, tetap saja teman-temanku sibuk dengan Valentine-nya. Maklum, namanya juga ababil. Begitu juga aku, meski kutahu kalau kasih sayang sebenarnya tak hanya diungkapkan di hari ini.

           Aku berjalan menuju kelas deretan belakang membawa bingkisan manis, sebuah mug bergambar club bola terkenal, berisi coklat beraneka rupa, dibungkus plastik dan bersematkan pita. Aku mencari Kingkong, panggilan sayang untuk adik kelas sekaligus pacar pertamaku, backstreet pastinya. Dia cowok hitam manis, tinggi, besar, makanya kupanggil Kingkong. Tapi dia tak di kelasnya, terpaksa kutitipkan bingkisan itu pada temannya. Nanti pulang sekolah akan kucoba menemuinya lagi.

              .... 


Penggalan FTS-ku ada di Antologi Serba-serbi 14 Februari. Order yuuuk .. terbitan AE Publishing (2012) dengan harga Rp 47.000.




PELANGI KEMUNING


Pelangi-pelangi, alangkah indahmu
Merah, kuning, hijau di langit yang biru …

Tiba-tiba suara nyanyian wanita itu muncul lagi. Awalnya samar-samar, namun semakin lama semakin mengeras dan jelas di telinga lelaki itu.

Lelaki itu semakin gelisah. Bola matanya yang hitam menggelinding tak tentu arah. Ia menengok ke sisi kanan-kiri dari tempat ia berdiri. Lalu ia pun menerawang ke langit-langit ruangan di mana ia berada. Keringat dingin semakin deras bercucuran, jelas terlihat di mukanya yang sawo matang hingga membasahi kaos hijau pudar yang ia kenakan. 

Kini lelaki itu melangkah tak beraturan. Tangannya pun bergerak sama tak beraturannya. Jemarinya saling meremas, mengepal, gemetar dan kadang singgah menutupi kedua daun telinganya. Entah apa yang ia pikirkan. Mulutnya bergerak tanpa suara, seperti tengah merapalkan sesuatu yang hanya ia yang tahu. Akhirnya lelaki itu pun tak mampu menguasai degup jantungnya yang semakin kencang dan …

“AAAAAAAARGH ..!”

***

Pelukismu agung, siapa gerangan
Pelangi-pelangi … ciptaan Tuhan

Suaranya merdu. Itulah satu kalimat yang selalu kugumamkan ketika mendengarnya menyanyi. Mungkin aku bukan orang pertama yang menyadari keindahan suaranya. Entahlah, aku mengaguminya sejak pertama kudengar nyanyiannya. Juga sejak pertama melihat parasnya yang tak kalah indah dengan suaranya. Ning, namanya Kemuning.

Seperti pagi ini, ia berdiri di depan kelas yang pintunya tak pernah ditutup. Dengan pintu terbuka seperti itu membuatku dengan mudah memandanginya. Ia mengenakan setelan baju berwarna jingga ceria. Sudah dua hari ini rambutnya ia ikat rapi sebagian, sungguh tampak berbeda. Hari-hari sebelumnya rambut hitamnya selalu ia biarkan tergerai sebahu. Kadang ia sematkan jepitan untuk mempercantik tatanan rambutnya.

Pernah suatu hari aku tak sengaja berbincang dengannya di mobil. Ning memintaku mengantarnya ke Puskesmas. Seorang anak didiknya terserang demam tinggi saat pelajaran.

“Kenapa kamu sering banget ngajarin ‘Pelangi-pelangi’ sama anak-anak? Jangan-jangan Bunda Ning cuma hafal lagu itu, ya?” Ledekku dengan memanggilnya Bunda, seperti yang biasa diucapkan anak-anak.

“Aku suka lagu itu. Lagian itu kan lagu wajib TK Pelangi Harapan.” Jawabnya disusul tawa.

Kalau boleh memilih, aku ingin seperti Angel, anak ragil majikanku yang biasa kuantar dan kutunggui di TK. Aku ingin duduk di dalam kelas dan bercengkrama dengan Ning. Tapi apa daya? Aku hanya bisa menatapnya dari dalam mobil yang sengaja kuparkirkan tepat menghadap kelasnya. Ah, Ning ….

***

Mas, nanti malam aku mau dilamar sama orang pilihan ayahku.

Aku teringat pada sms yang kuterima sore tadi dari wanita yang kini berada di sampingku, berkebaya putih dan rambutnya disasak ayu.

“Kenapa Mas bawa lari aku seperti ini?” Tanyanya.

“Aku tak rela kamu dilamar. Aku cinta kamu, Ning!” Jawabku.

“Tapi bukan seperti ini caranya. Ayah pasti marah kalau sampai tahu,”

“Kenapa? Karena aku cuma seorang sopir?”

Ning menangis. Sementara mobil majikanku kubawa 100km/jam. Pikiranku kacau. Hingga tak kusadari sebuah truk berlari sama cepatnya dari arah yang berlawanan dan …

BRAAAK ..!

***
“Siapa itu yang berteriak?” Tanya seorang lelaki berseragam putih-putih.

“Pasien baru dari IGD, pak. Halusinasi dan Perilaku Kekerasan, sejak dua bulan yang lalu. Katanya gara-gara melarikan kekasihnya dan kecelakaan. Kekasihnya meninggal. Kasihan,” jawab lelaki yang berseragam sama.

“Awasi dia, kalau perlu suntikkan obat penenang!”

“Baik, pak.”

END

*500 kata+judul.
*Sedang diikutkan dalam Lomba FF Minggu ke-2 Pustaka Inspirasiku. http://pustakainspirasiku.blogspot.com/2012/04/lomba-ff-mingguan-pustaka-inspirasi-ku.html

Kamis, 12 April 2012

BUKU KE-4


Kurayu Tuhan, Menjagamu

....

Kau ingat?
malam itu kau pernah dendangkan,
satu kidung tentang purnama
kau pun sempat bisikkan,
aku lebih indah dari rembulan

Kau tahu?
dirimu terlanjur rasuki lamunku
buatku berharap,
kau mampu temani habiskan gelap

Ah,
mungkin kau tak tahu
kau pernah ada dalam do'aku
kurayu Tuhan,
menjagamu untukku

....


Setelah satu kali gagal, akhirnya puisiku ini lolos dan bisa dibukukan di antologi puisi "Puisi adalah Hidupku", terbit di LeutikaPrio seharga Rp. 45.400,-
Ayo, miliki sekarang juga! Dijamin nggak nyesel :)