“Jika
masih bisa meminta, aku ingin malam ini tak hujan, Sayang. Atau setidaknya
tak ada petir mengiringi ….”
Ucapku dari kejauhan. Dan kau hanya diam.
Malam belum terlalu larut, tapi
suasana di luar membuat semuanya tampak kalut. Aku tahu, hujan tak jua berhenti
sejak sore tadi. Dan aku pun tahu, aku tak bisa berbohong bahwa aku
mengkhawatirkanmu.
Ya, sebegitu khawatirnya aku,
tak bisa kualihkan pandanganku darimu. Dari sini kulihat kau berbaring
di ranjang. Ranjang yang tak nyaman tapi
akhirnya menjadi nyaman untuk kita; aku, kamu dan Alin, gadis manis yang ada
dalam dekapmu. Kalian pasti kedinginan,
batinku. Sebuah kain jarit usang melindungimu dan juga Alin dari dingin yang jelas
teramat menyiksa. Malam benar-benar sunyi, kecuali gemuruh petir serta pertarungan antara angin dan jarum-jarum air. Dan matamu
yang belum terpejam sesekali menerawang ke arah jendela, mengawasi berkas kilat
yang menari di atasnya.
***
“Sayang, aku takut,”
“Kemarilah, peluk lebih erat.” Jawabku.
Dan kau pun akhirnya lebih
mendekat, di atas ranjang kayu tempat kita beristirah. Matamu yang biasanya berlian
kini kau tundukkan dan kau benamkan di dadaku. Sementara Alin, ah … anak kita
masih terlalu kecil. Semoga ia tidak terbangun karena suara-suara petir di luar sana.
“Maafkan aku, Rani,” bisikku.
Ada rasa bersalah yang luar
biasa di dadaku. Aku tak bermaksud membuatmu setakut ini. Aku tahu, sejak lama
kau phobia pada petir. Maaf bila
saat ini, saat hujan seperti ini, aku hanya bisa melindungimu seadanya. Semua ini
adalah pilihan. Dan membawamu serta anak kita ke rumah kontrakan sempit di
pinggiran ibu kota ini kurasa adalah pilihan yang terbaik.
Rani, perlu kau tahu … kuyakin
kau sudah sangat tahu, aku begitu mencintaimu. Aku tak pernah menyesal bertemu
dan mengenalmu. Mencintaimu adalah terhebat meski ternyata jalan tak seindah
yang kita bayangkan. Menikahimu pun adalah sesuatu, walaupun begitu sulit
meyakinkan ayah ibuku karena kita berbeda kasta.
Maaf
jika selama empat tahun kita tinggal di rumah orang tuaku, kau begitu tersiksa.
Kau memang tulus, Rani. Pun tak pendendam. Namun sebagai yang menyayangimu, aku
tak rela kau diperlakukan tak baik sehari-hari. Juga Alin, yang jelas-jelas
cucu mereka. Maka, kupilih membawa kalian lari ke sini. Apapun, walau harus
dicoret dari daftar keluarga. Mungkin ini seperti sinetron, tapi inilah
kenyataannya ….
***
Kilat
yang disusul geliat petir kembali
membahana, kali ini lebih hebat dari petir
yang sudah-sudah.
“Tutup
matamu, Rani … tutup matamu!”
“Tenang,
Pram … aku sudah tak takut lagi pada petir,”
“Benarkah?”
Tanyaku. Lagi-lagi kau tak menjawab. Semoga saja benar.
Kau
dekap penuh tubuh mungil Alin. Kau belai mesra rambut ikalnya yang seperti
rambutku. Sepertinya ada rapalan doa yang kau bisikkan tepat di atas keningnya.
Rani, aku ingin melakukannya pula, hasratku.
Ingin sekali.
“Bunda,
Alin lindu sama Ayah.” Ucap Alin padamu, meski lafalnya tak sempurna.
“Iya.
Bunda juga kangen Ayah. Kita berdoa ya supaya Ayah tenang di surga.”
Matamu
berkaca.
Sungguh,
Rani … tindakanku memang bodoh dan dosa besar di mata Tuhan. Namun jujur, ini
kulakukan sepenuhnya agar kau dan Alin benar-benar lepas dari tekanan orang
tuaku. Maaf bila akhirnya seperti ini. Aku mencintaimu, Rani. Maaf ....
===========================================================================
*Sedang
diikutkan dalam Lomba FF Minggu ke-6 Pustaka Inspirasiku.
http://pustakainspirasiku.blogspot.com/2012/04/lomba-ff-mingguan-pustaka-inspirasi-ku.html
kereeennnn..
BalasHapusMakasih, Vivie :D
BalasHapusSemoga menang...
BalasHapuscerpen yang menarik ya.......
BalasHapussalam kenal