Label

Senin, 09 Januari 2012

Sebuah Pagi di Hari Istimewa


            
             Akhirnya aku menemukan Ibu, setelah tadi aku mencarinya ke sudut-sudut ruang di rumahku. Padahal beberapa menit yang lalu aku masih melihatnya duduk menemaniku di kamarku. Di ruang tamu, ruang tengah dan dapur yang ada hanya orang-orang dengan berbagai kesibukannya, Ibu tak ada. Ya, ternyata Ibu di sini, duduk di kursi di tepi jendela kamarnya yang lumayan sepi. Aku melihatnya dari ambang pintu yang sengaja kubuka pelan tanpa ia tahu. Tak ada yang dilakukan Ibu selain diam, pandangannya jauh de depan. Seperti ada yang tengah Ibu pikirkan, entah apa.
 Tak lama kemudian tatapan matanya jatuh pada lukisan wajah lelaki yang terbingkai apik di dinding sebelah kanan dari sisinya. Matanya yang mulai dihiasi garis-garis keriput mulai menerawang setiap inci dari lukisan itu dengan seksama. Ada bayang-bayang kesedihan kutangkap dari air mukanya. Begitu juga ketika Ibu membuka lipatan kertas yang ia pegang sejak lama. Lagi-lagi Ibu tak sadar bila sedang kuperhatikan. Diam-diam bahunya bergerak naik turun, bibirnya bergetar. Air matanya mengalir membasahi pipinya yang tak lagi kenyal. Aku tak kuasa melihatnya.
“Ibuuu…”
Dengan cepat ia menghapus air matanya ketika aku berjalan dan dengan erat memeluknya. Hening sesaat. Dengan pelan Ibu membuka pelukku dan mengisyaratkan agar aku duduk di sampingnya.
“Kamu cantik sekali, Nak.” Ia menatapku sembari menyentuh kedua pipiku dengan telapak tangannya. Tatapannya begitu sendu.
“Ibu juga cantik. Tapi aku tak suka Ibu menangis. Ada apa, Bu?” Tanyaku sambil menyeka sisa air mata yang tertinggal di wajahnya.
“Tak ada, Nak. Ibu hanya terharu melihatmu seperti ini, cantik sekali.” Ah Ibu, aku tahu bukan itu yang membuatmu menangis.
***
            Sunyi menyergap kamar bercat putih ini. Tak ada suara selain bunyi gelembung-gelembung air di tabung manometer oksigen. Aku tak pernah bosan duduk di sini memandangi sosok lelaki yang terbaring lemah di hadapanku. Kedua tanganku sengaja menggenggam lengan kanannya yang kusadari semakin kurus. Sementara di tangan kirinya bersarang selang kecil yang mengalirkan tetes demi tetes cairan bening. Ini kesekian kalinya ia tergeletak tak berdaya. Aku harap ini yang terakhir, aku teramat sedih melihatnya seperti ini.
            Lihatlah, wajahnya begitu pasrah. Tulang pipinya semakin menonjol. Bukan karena apa, melainkan karena kurus akibat penyakit yang dideritanya. Begitu juga kedua matanya yang tepejam. Cekung dan kantungnya menghitam.
“Ayah, cepat sembuh ya… Ibu sayang Ayah.” Bisikku di telinganya. Tangisku pecah, tapi buru-buru kuatur. Aku tak ingin ia terbangun, aku tahu ia paling tak suka bila aku menangisinya.
            Lelaki itu bernama Mas Arman, lelaki yang menikahiku 11 tahun yang lalu. Lelaki yang begitu mencintai dan menyayangiku. Ia adalah lelaki yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Itu yang menyebabkan aku mau diperistri olehnya meski kami belum terlalu lama kenal. Selain karena ia taat beribadah dan kuyakin bisa menjadi imam yang baik untukku.
            Dua tahun pernikahan kami berjalan harmonis meskipun kami belum diberi momongan. Suamiku bekerja di sebuah bank dan aku adalah guru SD. Tapi bagaimanapun, lambat laun akupun mulai resah. Dua tahun selanjutnya aku belum juga hamil, padahal kami sangat mendambakannya. Sudah banyak usaha kami tempuh, belum juga membuahkan hasil. Aku sadar, suamiku pun mengiyakan bahwa mungkin Allah belum mempercayai kami memiliki keturunan. Kami harus bersabar.
            Sampai akhirnya sebuah musibah terjadi. Di tahun ke-6 pernikahan suamiku mengalami kecelakaan hebat sepulang kerjanya. Tulang kaki kanannya patah dan harus dioperasi. Sayangnya ketika masa pemulihan, suamiku yang baru diketahui mengidap Diabetes Melitus, gula darahnya tidak stabil dan cenderung tinggi. Luka sulit sembuh. Setahun kemudian ia harus merelakan kaki kananya diamputasi setinggi lutut. Astaghfirullah…
            Hari-hari selanjutnya kami lewati dengan penuh ketabahan, meski kadang ia sedih dengan kekurangannya. Aku tahu, hanya akulah yang harus menyemangatinya. Aku mencoba membuatnya tersenyum. Aku meyakinkannya bahwa kami bisa melewatinya bersama-sama. Suamiku memilih keluar dari kerjanya. Tapi ia tak tinggal diam. Ia menggeluti bakat lamanya sebagai pelukis. Dengan modal pas-pasan ia membangun usaha. Lukisannya banyak yang meminati, bahkan banyak terjual. Tak hanya itu, ia membuka sanggar lukis untuk anak-anak di sekitar tempat tinggal kami. Kerinduan kami terhadap adanya anakpun pelan-pelan bisa kami redam karena mungkin itu belum rejeki kami dari Allah.
            Allah memang Maha Berkehendak. Cobaan harus lagi kami hadapi. Dua tahun terakhir ini gula darah suamiku kembali tidak stabil. Bahkan lebih sering rendah hingga membuatnya lemah dan harus bolak-balik dirawat. Ya Allah, aku benar-benar pasrah, begitupun saat ini.
            Tiba-tiba suamiku terbangun, menyadarkanku dari lamunan. Ia berbicara pelan tetapi masih bisa terdengar olehku.
“Ibu, Ayah nggak kuat…”
“Ssst… Ayah pasti kuat. Ayah harus sembuh, untuk Ibu dan untuk ini…” Aku meletakkan tangan kanannya di perutku. Ya, sesuatu yang kami tunggu selama 11 tahun, aku positif hamil. Ada secercah rona bahagia di wajahnya. Cuma sebentar, kemudian ia kembali berbisik.
“Kalau Ayah pergi, Ibu jaga diri ya… Jaga anak kita.”
Air mataku tak bisa kubendung. Entah harus dengan cara apa lagi aku harus bersabar. Dan sore itu, setelah mengucap dua syahadat, lelaki yang sangat berharga di hidupku pergi menghadap Allah SWT.
***
            Aku menggenggam tangan Ibu sambil mengingat jelas perjalanan hidupnya yang sering ia ceritakan padaku. Juga tentang lelaki yang wajahnya ada dalam lukisan itu, Ayah yang tak sempat kukenal seumur hidupku. Meski kami tak pernah bertemu, aku bisa merasakan kasihnya lewat banyak hal yang Ibu ceritakan tentangnya. Aku selalu bersyukur dengan keadaan yang Allah berikan. Bersyukur memiliki Ayah dan Ibu yang tiada duanya. Ibu, wanita yang gigih membesarkanku sampai 22 tahun usiaku ini. Ia yang tak kenal putus asa meski harus hidup sendiri.
“Jangan sedih ya, Nak. Tidak ada Ayah yang menjadi wali nikahmu hari ini…” Suara Ibu terbata. Ia membenarkan letak roncean melati yang menghiasi kerudungku, mengusap lembut bahuku yang berlapis kebaya putih.
“Ada atau tidaknya Ayah, aku tetap bahagia karena ada Ibu di sampingku. Aku sayang Ibu.” Kami larut dalam pelukan. Pelukan bahagia di sebuah pagi di hari yang istimewa. Pagi ini aku akan melangsungkan ijab qabul, aku akan menikah dengan lelaki pilihan hatiku.
“Ya Allah, jadikan aku istri yang shalehah dan setia terhadap suami. Yang sabar dan tabah seperti Ibuku.” Pintaku dalam hati.
            Sebelum kami bangkit meninggalkan kamar, Ibu memberiku kertas yang dari tadi digenggamnya. Meski usang, itu adalah tulisan Ayah yang pernah dihadiahkannya untuk Ibu.
Kamu, Iya Kamu*
Ketika aku berniat menjatuhkan diri ke lubang di mana aku selalu terjerembab, kamu mengulurkan tangan, dan menarikku. Menawarkan diri untuk menemani dan mengajak untuk berpuru-pura buta.
Kamu menemaniku, di setiap bangun tidurku dan rasa mengantukku. Di setiap rasa bersyukurku dan rasa laparku. Di setiap rasa tenangku maupun gelisahku. Kamu membuka setiap aku ingin memulai hariku, dan menutup lebih dulu sebelum aku menyelesaikan hariku. Hampir tengah malam, namut tepat sebelum hari esok, biasanya.
Aku minta kamu untuk mencintai aku yang kaya akan rasa manis, semanis wajahmu. Sayangi aku dengan kehangatan sehangat senyummu di saat membangunkan pagiku, sungguh tiada pagi yang lebih indah tanpa senyummu.
Tapi mungkin ketika aku mati, kamu berniat untuk menimbun kenangan kita. Iya, kita, aku dan kamu.
***
*puisi Kamu, Iya Kamu, karya M. F. Riphat yang menginspirasi cerita pendek ini
* (Juara 2 FF Aku Pecandumu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar